Suprizal Tanjung's Surau

Aneka Ragam Tulisan Wartawan dan Lainnya

Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew ‘’Terpaksa’’ Minta Tolong ke Indonesia

BACA JUGA: Henry: Jaga dan Doakan IKMB di HUT ke-21

Unik. Negaranya kecil. Namun lincah dan gesit. Lasak (bergerak kesana-kemari). Raman-raman (gemas) kita melihatnya.

BACA JUGA: Lisa Yulia SS, Ketua DPD Praktisi Maritim Indonesia (Pramarin) Kepri  

Hal lain yang menjadi catatan, kalau mau membeli mobil, maka seseorang harus memiliki izin memiliki mobil yang harganya hampir sama dengan biaya membeli mobil.

BACA JUGA: RSHB Milik Masyarakat Batam

Untuk memiliki kendaraan, setiap penduduk Singapura pertama-tema harus punya izin kepemilikan kendaraan atau Certificate of Entitlement (CoE). Otoriras Angkutan Darat (LTA) Singapura rutin melelang CoE setiap bulan.

BACA JUGA: RSHB Rayakan HUT ke-30

Dan surat izin itu harus diperpanjang setiap tahun. Ini yang menjadi salah satu faktor, mengapa orang Singapura kurang memiliki mobil pribadi. Bandingkan dengan di Indonesia, kalau ada tujuh orang dalam satu rumah, maka tujuh orang pula memiliki kendaraan pribadi, bahkan lebih.

BACA JUGA: Institut Kesehatan Mitra Bunda Wisuda 311 Mahasiswa

Sebelum memiliki mobil, warga Singapura diharuskan memiliki Certificate of Entitlement (COE) atau semacam surat izin memiliki mobil yang dikeluarkan oleh Land Transport Authority (LTA) alias Dishub Singapura.

BACA JUGA: Mahasiswa Polibatam Produksi Film Animasi Ficusia

CEO juga dibanderol dengan harga mahal karena cara membelinya pun harus melalui metode lelang. Hanya penawar dengan harga tertinggi yang bisa mendapatkan CEO. Kisaran CEO sendiri mencapai Rp 250 – Rp 450 juta dan hanya berlaku untuk 10 tahun.

BACA JUGA: Bengkulu, Kota Tuo Nan Rancak

Selain surat kepemilikan, harga mobil di Singapura juga terkenal mahal, sebab dikenakan berbagai macam pajak. Di antaranya, Open Market Value (OMV), Good and Service Tax (GST), dan Additional Registration Fee (ARV).

Semua pajak ini tentu berhasil menaikkan harga jual mobil berkali-kali lipat dari harga sebenarnya.

Mobil model Toyota Avanza seharga Rp 200 juta di Indonesia akan menjadi Rp 1,1 miliar lebih jika dijual di Singapura.

Pemilik kendaraan di Singapura wajib memiliki asuransi dan ini sudah diatur dalam Undang-Undang negara itu. Jika ada yang ketahuan tidak memiliki asuransi, maka orang tersebut akan dikenakan denda 1.000 dolar Singapura (Rp 11 jutaan, kurs tahun 2023, atau penjara selama tiga bulan ditambah pencabutan SIM. Biaya asuransi di sini pun tidaklah murah, mulai dari Rp 5 hingga Rp 31 juta.

Jika di Indonesia BBM masih disubsidi oleh pemerintah, beda dengan Singapura yang tidak memberikan subsidi apapun untuk BBM.

Di Singapura pajak BBM akan dibebankan kepada pembeli. Pajaknya sendiri sekitar Rp 2 ribu hingga Rp 4 ribu untuk satu liter BBM. Belum lagi harga per liter BBM premium yang dibanderol sekitar Rp 36-38 ribu. Bandingkan dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, seperti premium Rp 10 ribu per liter (tahun 2023).

Mahal. Makanya banyak orang menghindar dari upaya memiliki mobil. Tak bisa sok-sokan di sana punya banyak mobil, jika uang di dompet hanya bisa beli BBM 5-10 liter (Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu).

Warga Singapura yang presiden pertamanya, Yusof Ishak yang merupakan keturunan Minangkabau (periode 9 Agustus 1965 – 23 November 1970) itu lebih suka naik bus, karena biayanya murah dan cepat.

Sementara kalau naik taksi, biayanya lebih mahal. Negara ini juga sangat aman. Hampir tidak pernah ada kasus pencurian dan perampokan terjadi. Kalaupun ada perampok dan pencurian, maka pelakunya bukan warga negara setempat.

Tanah, bukit, gedung, jalan, yang ada di Singapura dibuat seperti hutan belantara. Setiap jengkal tanah dibuat taman/ hutan. Kesannya, pemerintah Singapura ingin menghijaukan dan menyegarkan negara kecil tersebut. Bandingkan dengan di negara kita, tanaman, hutan, ditebang, dan digunduli. Kata orang-orang, kayunya dijual ke Singapura dan Malaysia yang miskin Sumber Daya Alam (SDA) namun kaya/ pintar Sumber Daya Manusia-nya (SDM).

Lebar, panjang dan diameter pulau Singapura pun semakin bertambah. Awalnya, Singapura itu hanya pulau kecil. Cuma karena pemerintahnya rajin melakukan reklamasi dan penimbunan lahan dengan pasir. Pulaunya bertambah luas. Garis batas lautnya bertambah. Ini tentu berpengaruh terhadap panjangnya garis batas laut antara Singapura dan Indonesia.

24 Pulau Diduga Hilang

Lalu pasirnya dari mana? Ada yang menyebut dari Indonesia. Pasir kita dijual ke negeri Jiran itu. Dampaknya apa?

Menurut Direktur Jendral Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Syamsul Maarif, Jumat (8/6/2007), ada 24 pulau di Indonesia diduga hilang.

Hilangnya 24 pulau kecil di Indonesia disinyalir hilang akibat pemanasan global, penambangan pasir, dan bencana alam.

Pemerintah menyepakati garis batas laut antara Indonesia dan Singapura adalah 67,3 km tahun 2016. Apakah kini masih sepanjang itu?

Rasanya tidak. Apa buktinya? Lihat saja sekarang. Jarak antara Batam (Indonesia) dengan Singapura semakin dekat. Lama-lama, saat kita melempar batu dengan tangan, akan sampai di pelabuhan feri Harbour Front Singapore.

Dampak ekonomis menjual pasir pasti ada. Uang masuk ke negara. Tapi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini terusik. Jangan karena uang. Lantas wilayah dan lahan di negara ini jadi berkurang dan hilang. Ironi.

Singapura, karena tanahnya sedikit dan sempit, semaksimal mungkin memanfaatkan lahan yang ada. Tanah yang sedikit dimanfaatkan dengan membangun rumah, apartemen, hotel, supermarket, mal. Semua menjulang ke atas.

Bandingkan dengan negara kita. Setiap orang membangun rumah melebar ke samping bukan ke atas. Rasa cinta kepada tanah air kita juga kurang. Hutan yang ada ditebang, pasir dijual, bukit dan gunung yang ada dikeruk dibuat hotel. Coba saja lihat, berdiri hotel di lereng bukit yang dikeruk di daerah di Indonesia.

Budaya kerja orang Singapura sangat tinggi. Semuanya kerja keras, serius dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada ditemukan karyawan, anak sekolah berkeliaran di dalam kota, atau duduk-duduk di cafe/ restoran/ rental internet hanya untuk menghabiskan waktu dengan bercerita atau melakukan hal tidak bermanfaat. Mereka harus kerja keras, karena baru bangun tidur saja sudah terbayang uang 35 Dolar Singapura harus keluar untuk biaya hidup pokok (makan). Dengan asumsi, 10 dolar sekitar Rp70 ribu (Juli 2011) untuk sekali makan, jadi makan tiga kali sehari 30-35 dolar (tahun 2011).

Orang Singapura dari muda sampai tua rajin bekerja. Ini sangat beralasan, karena biaya hidup di negeri Singa ini relatif tinggi. Untuk makan saja, harus mengeluarkan 10 Dolar Singapura, atau sekitar Rp70 ribu (Juli 2011). Kalau tidak bekerja, mau makan dengan apa seseorang di Singapura. Semuanya mahal.

Itulah sebabnya, guide kami yang humoris, Safari bin Ibrahim bin Osama bin Laden, yang katanya keturunan Jaka Sembung dan Si Pitung, sudah menyiapkan tabungan sejak dini. Tapi. Ada tapinya. Meski sudah punya tabungan, bisa saja saat tua nanti, dia tidak tinggal di Singapura. Banyak orang Singapura, ketika masa tuanya pergi dan tinggal di Australia, Malaysia, dan Indonesia. Alasannya, biaya hidup di negara-negara tadi lebih murah.

Bandingkan di Batam (Indonesia). Orang Indonesia pun, tidak perlu pusing memikirkan uang ketika bangun tidur. Kalaupun makan, dengan Rp70 ribu bisa makan tujuh kali, dengan asumsi, satu piring nasi ayam/ rendang di Rumah Makan Padang, Rp10 ribu per bungkus/ per porsi. Sangat murah. Kalau tidak ada uang, bisa menumpang makan di rumah kakak, adik, keluarga, orang tua, atau tetangga.

Kita juga perlu belajar mencontoh negara kecil ini dalam soal kebersihan. Di setiap sudut kota, hampir tidak pernah ada sampah berserakan. Tidak ada puntung rokok, tidak ada kantong plastik, tidak ada bungkus rokok, tidak ada botol air mineral, tidak ada aneka sampah yang berserakan di lantai/ jalan/ pelabuhan/ mal dan lainnya. Masuk ke pelabuhan, airnya sangat jernih. Tak ada bau busuk. Warga negera mereka sangat mencintai kebersihan. Mereka menganggap alam luar sebagai rumah mereka yang harus dijaga kebersihannya.

Beda dengan sebagian kita. Rumah sendiri dijaga kebersihannya. Bila perlu lantai rumah dipel (dibersihkan) tujuh kali sehari. Sementara lingkungan sekitar dibiarkan kotor, malah ikut mengotori lingkungan. Alasannya, lingkungan (alam) kan bukan rumah saya. Tak ada yang peduli, tak ada yang prihatin, tidak ada yang marah bila hal tidak benar (buang sampah sembarangan, menebang hutan, menimbun danau dan lainnya) terjadi. Ironi.

Kalaupun ada yang peduli, itu adalah Gubernur, Wakil Gubernur, Wali Kota, Wakil Wali Kota, Bupati, Wakil Bupati dan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sialnya, siapapun kepala dinasnya, pasti jadi sasaran kemarahan dan sumpah serapah warga. Pejabat sialan. Hanya makan gaji buta. Mengurus sampah saja tidak becus. Ketika ada hujan banjir. Air meluap di got, di sungai. Lalu warga demo panjang ke instansi terkait. Menyalahkan orang lain. Kadang menghancurkan fasilitas umum yang ada.

Warga seakan tidak peduli, bahwa kotornya kota ini, banjir di daerah, karena ulah (oknum) sebagian besar mereka sendiri.

Di Pelabuhan Feri Harbour Bay, Batuampar, Batam, suasananya juga sangat kontras dengan Singapore Harbour Front Cruise and Ferry Terminals. Puntung rokok, botol mineral, kotak rokok, dan aneka sampah berserakan di pelabuhan dan di pantai pelabuhan kita. Baunya sangat busuk. Sementara pelabuhan mereka bersih dan rapi.

Lalu, bagaimana dengan jalan di Singapura? Sepanjang jalan di negara kecil ini, tidak kita temukan anjing/ sapi/ berkeliaran di jalan. Tidak terlihat kotoran hewan berserakan di jalan. Tidak ditemui ada ayam tetangga menyeberang ke rumah tetangga lain, dan membuang kotoran di rumah orang lain. Badu yang punya ayam dan dapat telur, eeh ayamnya buang taik di rumah tetangga. Itu tak boleh di sana. Dilarang.

Tidak ada bangkai tikus dilempar ke aspal biar licak (gepeng) digilas ban mobil/motor.

Juga tidak ada ada gerobak rokok, ruli, pedagang dengan gerobak yang menjual bensin dalam botol, tidak ada kios tempat tambal ban. Ini juga sebabnya, tidak ada kendaraan roda dua (motor) yang tua beredar di negeri itu.

Lagipula, betapa susahnya kalau motor tua lalu macet/ mogok di jalan. Mogok karena kehabisan bensin atau ban motor bocor. Kemana akan mencari tempat tambal ban dan tempat orang menjual bensin dalam botol?

Beda dengan di Batam (Indonesia) yang hampir tiap daerah, desa, kelurahan, kecamatan, ada tempat tambal ban, dan orang menjual bensin dalam botol. Ini belum termasuk 28 Stasiun Pengisian Bahan Umum (SPBU) di Batam yang hanya melayani penduduk sekitar 1 juta jiwa (tahun 2011).

Masuk ke Singapura juga sangat ketat. Ada beberapa pintu di pelabuhan yang harus dilalui sebelum masuk ke negeri Singa tersebut. Ketika akan masuk, paspor diperiksa, dan barang-barang bawaan kita juga di-scanner. Saat pemeriksaan itu, petugas Imigrasi dan Bea Cukai mereka (mereka menyebut Customs) berjaga-jaga di samping orang yang datang. Mata Customs mereka bagai elang melihat seluruh tubuh dan gerak-gerik kita (orang Indonesia). Satu hal tidak bisa dilupakan, di pintu pertama pemeriksaan paspor tidak boleh memotret.

Saat mau balik/ pulang ke Indonesia, pemeriksaan lebih ketat lagi. Customs Singapura memeriksa paspor kita lagi. Lalu barang bawaan discan untuk diperiksa ada tidaknya barang terlarang. Seperti tadi, mereka menjaga dan mengawasi dengan mata penuh selidik.

Lantas, bagaimana saat tiba di pelabuhan Harbour Bay Batuampar, pukul 20.30 WIB? Kita (orang Indonesia) juga diperiksa parpornya. Cuma ketika barang-barang bawaan melewati mesin scanner, oknum petugas terkait nampak acuh. Malah tidak melihat sama sekali kepada penumpang dan barang yang discan.

Bagaimana kalau ada teroris, atau penumpang yang membawa senjata ilegal, barang ilegal, senjata api, narkoba dan lainnya masuk Indonesia? Ini perlu menjadi perhatian pimpinan dan pihak terkait.

Akh benar-benar mengecewakan. Itu baru dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Belum dengan negara maju lainnya.

Tapi, kata orang Minangkabau, Walaupun Ujan Ameh di Kampuang Urang, Ujan Batu di Kampuang Awak, Kampuang Awak Tetap Rancak. (Meskipun hujan emas di kampung/ negara orang, dan hujan batu di negeri sendiri), namun kampung/ negeri sendiri lebih elok).

Indonesia lebih besar, wilayahnya luas karena memiliki sebanyak 17.508 pulau, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama. Tinggal di negara saya ini tidak banyak pusing. Punya uang Rp7 ribu saja sudah bisa makan nasi ayam di Rumah Makan Padang. Tidak perlu punya uang 10 Dolar Singapura (sekitar Rp70 ribu tahun 2011) baru bisa makan satu porsi (piring).

Kalau tidak ada uang, masih bisa meminta kepada saudara, keluarga, orang tua, kawan, atau tetangga. Budaya tolong menolong kami sangat tinggi kepada siapapun, terlebih kepada saudara. Saudara mau menyekolahkan saudaranya yang lain sampai ke perguruan tinggi. Selagi bujang/ gadis, keluarga (kakak beradik) saling membantu. Orang tua dibantu biaya hidupnya. Bahkan sudah masuk usia dewasa dan tua pun, seseorang masih menumpang di rumah kelaurga, atau di rumah orang tuanya.

Mau tempat tinggal, bisa ambil tempat kos (kamar) dengan harga sekitar Rp 300 ribu per bulan. Kalau tak mampu, bisa membangun ruli di hutan, atau menyewa ruli yang sudah disediakan ”developer” jadi-jadian.

Mau beli mobil juga gampang. Cukup sediakan uang Rp 20 jutaan, anak istri sudah bisa naik kendaraan roda empat. Pajaknya minimal cuma Rp1,5 jutaan saja per tahun. Ondeh, murahnyo lai.

Ada juga yang berat mengeluarkan biaya, lalu mematikan pajak mobilnya. Tak usah bayar. Beres. Alasannya mobil tua. Tak perlu bayar pajak.

Ada juga kawan yang nekat. Beli mobil sejak buka bungkus (baru) sampai bertahun-tahun tak bayar pajak. Alasannya ya itu tadi. Mau bergaya uang tak cukup. Akhirnya ya main nakal sedikit.

Kalau naik motor, tidak takut ban bocor atau bensin habis di tengah jalan. Sebab, orang Indonesia kreatif. Kalau satu berhasil menjual bensin, menjadi penambah ban, jual rumah dan lainnya, maka semua orang akan berprofesi sama atau menjual barang yang sama. Meskipun kadang sampai menjual dengan harga murah, saling banting harga.

Oh ….. Tuhan. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberi Indonesia yang kaya raya, dan indah ini kepada kami, anak bangsa Indonesia.

Akh…… Saya tidak mau tinggal di Singapura. Singapura kecil, sempit. Payah cari tempat parkir. Kencing tidak bisa sembarangan, tidak boleh meludah sembarangan, parkir harus teratur, tidak boleh membuang bangkai tikus ke jalan, tidak bisa buang sampah sembarangan, susah bergunjing seperti kebiasaan orang-orang di kampung sebelah sana.

Di sana, tidak bisa memelihara ayam seenaknya, lalu membangun ruli di tanah yang kosong. Benar-benar susah di Singapura. Kemegahan Singapura hilang seketika dengan betapa bebasnya, betapa suburnya, indahnya, dan kayanya Indonesia yang diberikan Allah kepada kami. Ooh …….

Ketika sampai di Baiti Janati, Rumahku Istanaku, di Seitering Melchem, Batam, tubuh saya mulai terasa letih. Namun, saat melihat tiga jagoan saya, Zahran, Luthfi, dan Raihan, tertidur dengan nyenyaknya, semangat saya kembali bangkit.

Saya melihat, tubuh kekar dan besar mereka itu menyimpan berjuta potensi dan harapan. Otak mereka cerdas, wawasan mereka luas, jauh di atas usia mereka yang masih di bawah tujuh tahun (di tahun 2011). Mereka mampu membaca situasi dan melihat kondisi. Lidah mereka lincah dalam berkata-kata. Ini potensi besar dalam berdiplomasi, berkreasi, dan berpikir. Dalam hati saya berucap. Kalian harus pintar dan taat beribadah. Baktikan ilmu pengetahuan kalian untuk bangsa dan negara Indonesia ini.

Otak dan tangan kalian tiga puluh tahun lagi, harus bisa membuat orang-orang Singapura Malaysia datang dan menghambur-hamburkan uang di negara kita. Hal itu bisa terwujud dengan cara rajin belajar, rajin mengaji, rajin sholat, dan banyak mencontoh kemajuan dan kebaikan orang/ negara lain. Insya Allah.

Usai memandang mereka, saya pun mengusap tubuh mereka, karena seharian tidak melihat dan memeluk tiga jagoan ini. Begitu sayang saya kepada tiga jagoan ini. Sama seperti sayangnya Saya kepada seluruh anak bangsa di NKRI ini.

Hari-hari selanjutnya saya membuat berbagai gebrakan. Melalui pertemuan, seminar, musyawarah, dan silaturahmi, saya memaparkan banyak hal kelebihan dan kekurangan Malaysia Singapura kepada kepada Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota, Gubernur Kepri, menteri, dan lembaga terkait.

Saya pontang panting mencari kesempatan untuk berbicara dan mengeluarkan semua kemampuan intelektual saya kepada pemimpin-pemimpin tadi.

Intinya, kelebihan Malaysia Singapura kita contoh. Kekurangan mereka kita buang jauh. Semua harus bergerak cepat. Tidak ada malas, tidak ada tipu menipu. Tidak ada merasa paling pintar dan paling berjasa. semua harus bersatu membesarkan kapal induk yang bernama Indonesia ini. Sektor ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, agama, dan lainnya harus segera dibangun, dikembangkan, dan di-internasionalkan.

Harapan saya memang tidak sia-sia. Dan Alhamdulillah, semua anak bangsa, mulai dari rakyat biasa, politisi, birokrat, pengusaha mendukung semua ide saya. Pemerintah tingkat kabupaten, kota, provinsi, menteri, bahkan Presiden RI sangat mendukung gagasan-gagasan yang saya kemukakan.

Dalam waktu singkat pembangunan di Batam/ Indonesia maju pesat. Industri tumbuh dan berkembang. Gedung-gedung menjulang tinggi di Batam/ Indonesia. Wisata belanja, objek wisata, jembatan Barelang, Kamp Vietnam, dan lainnya kebanjiran tamu. Tour and Travel di Kepri menjamur. Mereka tidak pernah kekurangan order menerima wisatawan.

Waktu demi waktu, perlahan tapi pasti, perekonomian Indonesia maju pesat mengalahkan dua negara jiran tadi. Pusat wisata Genting Highlands Malaysia sepi. Pusat judi di Pulau Sentosa Singapura mati suri. Perekonomian Malaysia Singapura jatuh tapai oleh anak-anak bangsaku tercinta, Indonesia.

***

(Jatuh tapai adalah istilah bahasa Minang. Tapai yang dimaksud disini adalah makanan yang terbuat dari ubi kayu, yang bila dilepaskan atau jatuh dari tempat tinggi, akan melekat di lantai tanpa bentuk, dan tidak berguna lagi).

***

Mulai saat itu, tidak banyak lagi orang yang datang ke sana. Semua mata dunia sudah pindah ke Batam (Indonesia) yang telah menata dan merubah sistem pariwisata dan pemerintahannya menjadi lebih sempurna. Kemajuan Batam dalam berbagai sektor kehidupan, juga ditiru dan terjadi di berbagai kota kabupaten dan provinsi se-Indonesia. Sungguh mengagumkan dan membanggakan.

Jika saja Bung Karno (Ir Soekarno), Bung Hatta (Mohammad Hatta) sempat melihat, tentu akan sangat gembira melihat bangsa dan negara yang telah mereka proklamasikan pada Jumat 17 Agustus 1945 lalu, tenyata telah maju dan berkembang demikian pesatnya sejak tahun 2011. Saya jelas tidak akan menolak diundang Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Istana Negara di Jakarta, baik untuk sekadar berdialog tentang kemajuan bangsa, atau memberikan penghargaan movitator bangsa kepada Saya. Pasti saya menerima undangan itu dan ikhlas menerima penghargaan tersebut.

Kembali ke persoalan tadi. Betul. Batam dan Indonesia umumnya, semakin maju dan berkembang. Wisata terpadu, sektor ekonomi, agama, budaya, pendidikan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, serta lainnya sejajar dengan negara-negara maju. Segala jenis industri hidup di Batam seperti industri ekstraktif, industri nonekstaktif, industri fasilitatif, industri padat modal, industri padat karya, industri kimia dasar, dan industri kecil. Juga berkembang industri rumah tangga, industri kecil, dan industri besar.

Tak ketinggalan tumbuh subur industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada kebutuhan pasar, pada tenaga kerja dan pada bahan baku. Ada lagi industri primer, dan industri tersier. Semua sektor usaha hidup. Hampir tidak ada celah investasi lagi ke negara luar. Batam tumbuh menjadi kota Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE, Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran). Penanaman Modal Asing atau (PMA) tumbuh subur. Penanaman Modal Dalam Negeri atau (PMDN) hampir tiap hari mengurus perizinan investasi baru.

Multiplier effect dari semua kemajuan ini sangat luar biasa. Semua orang merasakan dampak positifnya. Mulai dari tukang ojek, sopir taksi, Rumah Makan (RM) Padang, penginapan, minimarket, supermarket, mal, hotel, mendapatkan pelanggan, omzet, dan occupancy yang tinggi.

Tempat tinggal saya di Seitering, Melchem Kaveling menjadi kawasan elit dan tempat orang-orang terhormat. Tidak ada lagi maling dan orang yang senang dongeng karlota di daerah ini. Penduduknya adalah anak-anak pejabat, pengusaha, kaum intelektual, politisi andal dan lainnya.

Para artis, politisi, pengusaha, pejabat tinggi dari Singapura, Malaysia, dan tentu saja Indonesia, kerap berebut mendapatkan rumah di tempat yang dulunya hanya rawa tersebut. Sangat sulit masuk ke Melchem, tanah dan sewa gedung di sini tertinggi di Batam, bahkan se Indonesia. Betapa hebatnya Melchem.

Kini, tidak ada lagi istilah Indon. Yang ada adalah orang Indonesia terhormat dan kaya raya. Indonesia adalah negara yang kaya, subur, hijau, dan maju. Anak saya bersama pemerintah Indonesia sejak saat itu, melarang warga negaranya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia Singapura dan negara-negara lain.

Tak ada lagi TKI dari negeri ini. Yang menjamur di Indonesia adalah Tenaga Kerja Asing (TKA) yang berasal dari Malaysia Singapura, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Francis, serta negara berkembang dan maju lainnya.

Indonesia kini hanya mengirim otak, berbentuk dosen, dokter, profesor, pengusaha-nya untuk mengajar/ membagi ilmu kepada orang-orang Singapura Malaysia dan negara-negara maju dan berkembang lainnya.

Di Indonesia tidak ada lagi kasus illegal logging, illegal fishing, human trafficking, tipu menipu, copet, perampokan, pembunuhan, pemerasan, rumah liar, dan lainnya. Contoh kecil, kalau ada dompet jatuh di jalan, sampai tujuh hari tujuh malam pun, dompet dan isinya itu tidak akan bergeser dari tempat semula terjatuh. Warga Indonesia tidak akan menyentuh barang yang bukan hak mereka. Sebab, berdasarkan ajaran agama manapun, dan budaya di Indonesia, mengambil barang orang lain yang bukan hak, itu tidak dibenarkan. Hal ini benar-benar dilakukan bangsaku tercinta.

Dompet tadi baru diambil setelah polisi datang dan menyimpannya di rak kantor Polsek/ Polres, Poltabes, Polda setempat. Lama disimpan. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Persis seperti kejadian di Jepang.

Pengumuman pun diberikan. Siapa yang merasa kehilangan dompet warna ini, dan isinya sekian, silakan datang ke kantor polisi dengan alamat ini. Itu gambaran singkat betapa aman, kaya, dan beradabnya orang Indonesia.

Budaya ini membuat salut orang asing. Budaya dan intelektual orang Indonesia dibicarakan dan dicontoh bangsa-bangsa maju lainnya. Mereka tidak lagi malu belajar kepada orang Indonesia.

Seni budaya dan agama Islam tumbuh baik di negeri Melayu yang sejak berabad-abad silam itu telah kental nuansa Islam-nya. Agama lain pun tumbuh dan berkembang di negeri ini.

Pelabuhan kontainer/ peti kemas di Magcobar Batuampar menjadi perhatian dunia. Barang-barang ke luar masuk di pelabuhan itu 24 jam. Semua berjalan dengan lancar dan terkontrol dalam satu sistem komputerisasi. Tidak ada satu celah pun kegiatan penyelundupan bisa masuk keluar di Batam (Indonesia).

Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Singapura dan Malaysia antre untuk dapat masuk dan bekerja di Batam. Tidak sedikit dari mereka yang ditolak dan diusir dari pelabuhan-pelabuhan formal dan pelabuhan tikus yang ada di Negeri Melayu ini. Bagaimana tidak diusir. Mereka datang secara ilegal, bikin kekacauan, merampok, membunuh, dan tidak memiliki pasport, serta perizinan lainnya.

Tak hanya itu, sektor pendidikan di Batam pun tumbuh subur. Perguruan tinggi negeri dan swasta di daerah ini menjadi rujukan bagi mahasiswa dalam dan luar negeri.

Hal ini bukan tanpa alasan. Ketiga anak saya, bersama masyarakat di Bumi Segantang Lada Melayu ini telah bahu membahu membangun dan memajukan Batam dalam berbagai sektor. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Batam dan Provinsi Kepri meledak. Investasi meningkat pesat. PMDN dan PMA menjamur. Rakyatnya sejahtera. Kota, mal, ruko, pelabuhan, dan tempat wisata di Batam dan Kepri megah, ramai, maju, dan bersih.

Pelabuhan dan pantai tidak lagi busuk. Tidak ada lagi sampah berserakan. Masyarakatnya pintar-pintar dan taat hukum. Perguruan tinggi negeri dan swasta di Kepri selalu kebanjiran mahasiswa, baik itu yang datang dari Indonesia sendiri, maupun dari dua negeri jiran tadi. Mutu pendidikan Indonesia mengalahkan universitas terbaik di dua negara tadi.

Hal yang membuat saya menitikkan air mata. Karena peran serta anak saya dan semua orang di Batam (Indonesia), pengusaha/ pemerintah Singapura dan Malaysia berkali-kali mengadakan studi banding ke Batam (Indonesia).

Dulu, tahun 1960-1970-an, Singapura dan Malaysia mengirimkan pemuda pemudi mereka belajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Guru, dosen, profesor dan tenaga andal dikirim dari Indonesia ke Malaysia. Namun, kejadian ironi terjadi. Tak membutuhkan waktu lama, pemuda pemudi Indonesia malah belajar ke Malaysia dan Singapura.

‘’Menyedihkan sekali. Guru kemudian belajar kepada muridnya (orang Malaysia dan Singapura),‘’ ujar Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) RI, Prof DR Dr Fasli Djalal MSc Sp Gk saat memberikan Kuliah Umum dengan tema Pembentukan Karakter Building pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) di kampus Universitas Batam (Uniba), Batam, Jumat (6/1/2012).

Kini, cakak babaleh (kini, kita bisa membalas, red). Dengan gaya kepemimpinan tiga anak saya, didukung penuh Wali Kota Batam, dan Presiden Republik Indonesia (RI). Masa keemasan dan kemajuan para intelektual Indonesia dulu bisa diraih lagi. Itu bukan mimpi dan bukan hayalan. Itu telah terbukti.

Dua Mantan Perdana Menteri dari Jiran Memohon ke Batam

Batam (Indonesia) semakin maju. Saking majunya Batam (Indonesia), mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Tun Dr. Mahathir bin Haji Mohamad atau lebih dikenal dengan Dr Mahathir bin Mohammad (masa jabatan 16 Juli 1981–31 Oktober 2003) dan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew (masa jabatan 3 Juni 1959–28 November 1990) terpaksa turun gunung. Mereka datang ke Batam menemui Wali Kota Batam dan tiga anak saya, yang juga menjadi arsitek pembangunan dan pembaharuan Batam dan Indonesia.

Dua mantan PM ini meminta Batam (Indonesia) mengirimkan profesor, doktor, dokter, dosen, arsitek Indonesia untuk mengajar di Singapura dan Malaysia seperti tahun 1970 lalu. Berkali-kali dua mantan PM ini, baik secara bersama-sama, maupun secara pribadi datang ke rumah anak-anak saya. Mereka ingin belajar dan mencontoh kemajuan Batam dalam berbagai sektor kehidupan.

Orang Malaysia dan Singapura terpaksa membuang rasa malu. Mau tak mau. Mereka kembali belajar lagi kepada gurunya (orang Indonesia). Terutama tentang bagaimana orang Batam mengelola wisata terpadu, mengelola dan memajukan sektor ekonomi, agama, budaya, pendidikan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, serta lainnya.

Yang semakin membanggakan saya, Malaysia dan Singapura, bahkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika banyak menerjemahkan ilmu pengetahuan yang dihasilkan anak-anak saya dan anak bangsa Indonesia lainnya, ke dalam bahasa mereka. Banyak negara luar ingin meniru dan mentransfer teknologi dan meminta anak-anak Indonesia datang ke negara mereka.

Anak-anak Indonesia jadi rebutan untuk diambil Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya (Iptek), iman dan takwa-nya (imtak). Anak-anak Indonesia tidak hanya memiliki iptek yang tinggi, tapi juga mempunyai iman, moral yang sangat baik. Indonesia tidak lagi memiliki satu Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Kini sudah ratusan bahkan ribuan BJ Habibie ada di Indonesia.

Indonesia kini hanya sedikit saja mengirim anak-anak bangsa ini belajar ke luar negeri agar tidak tertinggal informasi mengenai perkembangan negara lain. Negara yang dituju pun diseleksi ketat, agar anak bangsa ini tidak salah pilih dan pergi ke negara yang salah/ kurang baik.

Dulu, anak-anak Indonesia belajar ke Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, Francis, Jerman, Belanda, Mesir, Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang dan lainnya. Kini jadi terbalik. Anak-anak bangsa dari negara-negara tadi, malah belajar ke berbagai universitas terkenal di Indonesia.

Khusus Malaysia dan Singapura, mereka tidak segan bertanya, bagaimana orang Indonesia bisa pintar (iptek) dan taat hukum? Mereka (seperti) memaksa agar rahasia kesuksesan ini bisa dibongkar. Mereka ingin mereka maju dan berkembang seperti Batam dan Indonesia umumnya.

Namun, Pemko Batam dan tiga anak saya menolak memenuhi permintaan tersebut. Kami kompak, tetap menjaga rahasia kemajuan pembangunan Batam (Indonesia) yang telah mengalahkan Singapura dan Malaysia. Kecintaan saya, tiga anak kesayangan saya, dan bangsa kami terhadap Indonesia sangat besar.

Kami tidak ingin menjual tanah, air, informasi, rahasia, dan harga diri bangsa ini kepada bangsa lain. Bagi kami Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah paling utama dan harga mati.

Karena tidak tembus membujuk tiga anak saya dan juga Pemko Batam, dua mantan PM tadi datang ke rumah saya, di Melchem/ Seitering. Mereka datang, dengan agak malu-malu. Maklumlah, mantan dua pemimpin negara datang ke rumah seorang wartawan. Saya tidak ge er. Tidak besar kepala.

Tidak masalah siapapun yang datang. Asalkan tujuannya baik. Siapapun orangnya, miskin kaya, muda tua, orang biasa atau pejabat. Diperlakukan sama. Setiap orang datang ke rumah, dia adalah tamu, dan saya wajib menghargai dan menjaga mereka lahir bathin, dan menjaga nama baik mereka.

‘‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Pak Suprizal Tanjung,” sebut Pak Mahathir dan Pak Lee bersamaan saat berada di depan pintu rumah saya.

”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh Pak Mahathir dan Pak Lee, ” jawab saya yang menyambut mereka dengan hangat, penuh suka cita.

Makanan dan minuman terbaik, kami suguhkan untuk dua pemimpin besar tersebut. Anak-anak saya suruh main di luar agar tak mengganggu dua tokoh dunia ini.

Setelah berbasa-basi dan bercerita panjang lebar, akhirnya Mahathir atau akrab dipanggil DR M atau Little Soekarno dan Lee mengutarakan keinginan agar saya mau membantu membangkitkan keterpurukan perekonomian, pendidikan dan lainnya di negara mereka. Terus terang, saya sudah tahu kondisi dua negara tersebut. Namun, saat mendengar langsung dari Mahatir dan Lee, saya sedikit terkejut, bangga sekaligus prihatin. Namun, saya tidak bisa berbuat banyak.

Saya katakan, ”Maaf Pak Mahathir dan Pak Lee. Saya hanya wartawan. Saya berjuang untuk NKRI ini di bidang jurnalistik. Kerja saya menulis dan memotivasi bangsa saya untuk maju dan berkembang. Tidak banyak yang dapat saya berikan kepada Anda berdua. Saya pun tidak bisa mempengaruhi ketiga anak saya dan pemerintah Indonesia untuk berbicara banyak tentang rahasia kemajuan negeri kami yang telah mendunia. Mereka memiliki kebijakan yang saya tidak bisa intervensi,” kata saya jujur.

Mahathir dan Lee saling pandang dan menghela napas panjang mendengar jawaban saya tersebut.

”Saran saya, tingkatkan saja kerja sama di berbagai bidang. Teruslah belajar (kepada kami). Insya Allah negara kalian akan bisa menyamai kemajuan negeri kami. Janganlah karena prinsip dan jawaban saya ini, membuat hubungan bilateral Indonesia Malaysia, dan Indonesia Singapura menjadi retak. Apapun keputusan kami, Malaysia Singapura dan Indonesia adalah negara serumpun, kita bertetangga. Kita ber-jiran. Bagaimana pun keadaannya, kita tetap bersaudara Pak Mahathir dan Pak Lee,” ujar saya membesarkan hati mereka.

Jawaban itu menjadi puncak ketegasan sikap saya. Usai berbasa-basi dan bercerita panjang lebar tentang kemajuan negara masing-masing, Mahathir dan Lee pun pamit. Saya mengantar dua orang besar itu sampai ke Pelabuhan International Ferry Terminal, Batam Centre, Batam.

Dua pemimpin negara tadi jelas kecewa, sedih, dan (mungkin) malu. Mereka jelas gusar. Tidak pernah dua pemimpin besar itu dipermalukan dan ditolak seperti ini, baik saat sudah habis masa jabatannya, terlebih ketika masih menjabat sebagai pemimpin negaranya.

Semua perasan bercampur menjadi satu. Itu terlihat jelas di wajah Mahathir dan Lee. Mereka tetap berusaha mengimbangi pembicaraan saya di rumah tadi. Tapi rohnya, semangatnya sudah sangat-sangat berkurang. Tidak bergairah lagi.

Bagaimanapun kondisinya, kehadiran dua tokoh dunia itu, tidak bisa mengubah keteguhan kami dalam berprinsip. Kekecewaan dua pemimpin negara jiran tadi saya pahami. Namun, NKRI adalah segala-galanya bagi saya.

Bentuk kekecewaan mereka itu jelas terlihat. Sejak saat itu, Mahathir dan Lee tidak pernah lagi menelpon, mengirim e-mail, mengirim info di BlackBerry Messenger (BBM), WhatsApp (WA), mengirimi surat, apalagi datang ke rumah saya. Tak pernah sejak kejadian itu.

Tak apalah. Mungkin mereka sibuk jadi tidak sempat untuk berkomunikasi lagi dengan saya. Saya tak mau suuzan (suudzon). Saya tetap baik sangka kepada siapapun, terlebih kepada dua pemimpin besar tersebut.

Tapi di balik kekecewaan mereka, ada rasa bangga dan bahagia terhadap kebesaran bangsa dan negara saya tercinta, NKRI.

Saya betul-betul bangga dan bahagia menjadi orang Indonesia. Kami telah mengalahkan Malaysia dan Singapura dalam hal apapun.

Coba bandingkan. Singapura hanya mempunyai luas 710.2 km persegi, penduduknya hanya 5.076.700 (tahun 2010). Kemudian, Malaysia memiliki luas dengan luas 329.847 km persegi, pada September 2008 penduduknya 27.730.000 jiwa.

Sementara Indonesia memiliki luas 1,904,569 km persegi, masyarakatnya pada 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan (informasi Senin (19/9/2011). Semuanya jauh meninggalkan Malaysia Singapura.

Bicara soal keamanan jangan disebut. Kami memiliki TNI AD, TNI AL, TNI AU, Polri. Masih belum cukup, kami juga memiliki satuan keamanan elit seperti Komando Pasukan Khusus (Kopassus), SAT-81 Gultor Kopassus, Komando Pasukan Katak (Kopaska), Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 (polisi), dan lainnya.

Jumlahnya? Akh, janganlah kalian tahu. Itu rahasia kami. Kami pun memiliki Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang banyak dan kuat. Kalian cukup tahu saja, bahwa kami punya prajurit dan Alutsista terbaik untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari gangguan keamanan baik internal maupun eksternal.

Betapa besar dan kuatnya nya tanah, air, dan bangsaku. Semua orang Indonesia memiliki pikiran, perasaan, dan harapan yang sama dengan saya. Hmmmm ……

Seperti tadi. Andai saja, Bung Karno (Ir Soekarno), Bung Hatta (Mohammad Hatta), Syafruddin Prawiranegara, Mr Assaat, Bung Sjahrir (Sutan Sjahrir), Prof Mr Muhammad Yamin SH, Buya HAMKA, Soeharto masih hidup, tentu para tokoh bangsa tersebut akan tersenyum, bangga, bahagia melihat kemajuan Batam (Indonesia) saat ini. Tentu mereka akan berkata, tidak sia-sia pengorbanan para palawan yang mengorbankan keringat, tenaga, pikiran, harta benda, darah bahkan nyawa sekalipun untuk memerdekan bangsa dan negara NKRI ini. Allahu Akbar. Saya akan memeluk, bersalaman dengan para tokoh bangsa tersebut.

Sayangnya, kebanggaan dan kebahagiaan saya tadi tidak lama. Begitu azan Subuh berbunyi, buyar sudah semua.

Akh… Saya ternyata hanya bermimpi.

Kebesaran bangsa dan negara tadi, prestasi anak bangsa tadi hanya bunga tidur. Bukan kenyataan.

Saya menangis. Betul betul menangis. Melihat bangsa dan negara ini masih jauh dari sejahtera. Belum merdeka secara bulat dan utuh. Kita memang telah merdeka dari penjajahan, namun belum merdeka dari kebodohan, kemiskinan, kekurangan pangan dan lain sebagainya. Kita masih bisa diadu domba. Saling pijak. Saling ejek. Masih jauh dari sempurna dan sejahtera.

Usai salat Subuh, saya berdoa:

”Ya Allah, majukanlah bangsa dan negara kami. Jadikanlah mimpi tadi menjadi kenyataan. Tinggikan intelektual, moral, dan iman, dan persatuan kami. Jadikanlah kami orang yang mulia dunia dan akhirat. Sejahtera aman dan bahagia. Besarkan hati kami, dan mudahkan jalan kami dan pemimpin bangsa kami membangun bangsa dan negara ini menjadi lebih besar dan maju lagi,” doa saya kepada Allah SWT diiringi air mata.

Tapi, meskipun ba-rasian (ber-mimpi). Saya tetap bangga melihat kemajuan Batam (bangsa dan negara Indonesia) mengalahkan Singapura dan Malaysia. Walaupun itu hanya dalam tidur. Apakah ini salah satu kelebihan orang Indonesia. Saya sangat tidak setuju dengan kalimat ini.

Mimpi atau bukan. Sekali lagi ditegaskan. Saya tidak mau tinggal di Singapura. Bangsa dan negara saya lebih maju dalam berbagai hal. Indonesia bisa mengalahkan Singapura dan Malaysia.

Negara kami kaya raya dan lebih luas. Kami orang pintar. Kami tidak pernah kekurangan orang pintar. Negara kami gudangnya orang pintar.

Kami memiliki banya tokoh seperti Bung Karno (Ir Soekarno), Bung Hatta (Mohammad Hatta), Syafruddin Prawiranegara, Mr Assaat, Bung Sjahrir (Sutan Sjahrir), Prof Mr Muhammad Yamin SH, Buya HAMKA, Soeharto, Prof Dr Ing Ir Baharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MSc, Muh Jusuf Kalla, Dr Asman Abnur SE MSi dan lainnya. Mereka semua orang pintar.

Pemimpin bangsa kami telah membangun NKRI ini dengan sebaik-baiknya, dan mereka telah mentransfer kepintaran mereka kepada kami, anak bangsa NKRI, yang mencapai 259.940.857 jiwa. Kami semua mencintai pemimpin bangsa kami tersebut. Kami tidak ingin mengecewakan mereka.

Sejak dini, saya mengajak anak-anak saya, dan anak bangsa ini melakukan hal-hal yang bermanfaaat, menghindari pertikaian, menjauhi permusuhan, tidak anti Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), taat kepada ajaran agama, patuh kepada orang tua dan pemimpin. Sekali lagi, jangan kecewakan pemimpin bangsa kita.

Kita adalah bangsa dan negara yang besar. Namun kebesaran ini akan tumbang bila kita tidak kompak, tidak rajin belajar, tidak mau berinovasi, dan tidak mau menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat.

Kita bukan penonton, kita adalah pelopor sekaligus penggerak pembangunan di negeri yang kaya raya ini. Insya Allah. (***)

Pages: 1 2

May 19, 2012 - Posted by | Pagaruyung Minangkabau

2 Comments »

  1. Saya sangat senang setelah membaca Tulisan diatas , meunjukkan bangsa kita tidak kalah maju dengan negri seberang , teruslah memotivasi ! 👍☺

    Comment by Gung Abhy | May 18, 2013 | Reply

    • Terima kasih Bung Gung Abhy. Insya Allah, apa yang saya tulis ini bisa memberikan kebaikan untuk kita semua. Aamiin.

      Comment by Suprizal Tanjung SS | May 19, 2013 | Reply


Leave a comment