Suprizal Tanjung's Surau

Aneka Ragam Tulisan Wartawan dan Lainnya

Samurai Jepang dan Harakiri, Sebuah Kepahlawanan

Judul buku : HARAKIRI Kepahlawanan Samurai Jepang
Penulis : Agata P. Ranjabar, Umar Tj’s (ed)
Penerbit : PINUS BOOK PUBLISHER, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 251 halaman

Kehebatan Jepang bangkit dari kehancuran pasca bom atom Nagasaki dan Hiroshima dalam waktu singkat telah memukau dunia, hal ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tradisi yang mereka warisi juga mencengangkan dunia, yakni lewat keberanian, kesetiaan, harga diri, dimana mereka mampu melakukan tindakan bunuh diri.

Tak lain ketika mendengar kata-kata bunuh diri akan terbayang dalam benak kita tentang samurai atau kamikaze. Kedua hal tersebut telah membuat cengang dunia. Samurai yang sangat terkenal dengan keahlian perangnya dan keberanian yang tinggi, mampu melakukan tindakan bunuh diri sebagai sebuah wujud kesetiaan kepada tuannya, atau terhadap negara untuk menjaga harga diri.

Misalnya saja, Oda Nobunaga (1534-1582), samurai yang sangat kejam dan pemberani ini, telah dikenal dunia atas usahanya untuk menaklukkan seluruh Jepang. Di samping itu ia juga telah menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah seorang samurai yang punya harga diri dan terhormat, dengan melakukan harakiri di saat-saat terjepit dalam serangan pengikutnya yang berkhianat, Akechi Mitsuhide. Ia lebih memilih mati daripada tertangkap dan menjadi tawanan musuh.

Semangat yang tinggi dan berkobar-kobar untuk mempertahankan harga diri atau negerinya setimpal atas kemurahan hati untuknya tetap mengabdi. Semangat ini adalah semangat bushido, semangat yang harus dimiliki oleh setiap samurai. Bunuh diri adalah tindakan perwujudan nilai-nilai tersebut.

Dari perspektif sejarah, perkembangan tradisi harakiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh beberapa kepercayaan masyarakat Jepang seperti Neo-Konfusius, Konfusius, Tao, Zen dan Shito. Tindakan bunuh diri dibuat dalam sebuah ritual yang sering disebut dengan nama harakiri atau secara harfiah berarti membelah perut.

Tindakan harakiri dianggap terhormat karena untuk melakukan ini, harus memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Hal ini sangat menyiksa, ditambah lagi tidak boleh menunjukkan ekspresi ketakutan ataupun kesakitan karena hal tersebut merupakan hal yang memalukan bagi seorang samurai yang terhormat dan pemberani.

Akan tetapi, bagi mereka yang tidak ingin mempermalukan diri dengan menunjukkan ekspresi tersebut, maka ditugaskanlah seorang kaishaku yang bertugas untuk memenggal kepala si pelaku untuk mempercepat kematian tanpa harus berlama-lama tersiksa. Ritual inilah yang dikenal masyarakat luas saat ini sebagai harakiri.

Pada awal masa pemerintahan Tokugawa, harakiri sering digunakan sebagai hukuman bagi para samurai yang telah melakukan kejahatan (sedangkan untuk orang biasa, mereka dipukuli sampai mati, atau dipenggal kepalanya).

Peningkatan kematian disebabkan harakiri menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan hingga pada akhirnya harakiri pun dilarang. Semenjak saat itu, para samurai kemudian berganti pekerjaan, berdasarkan keahlian lain yang mereka miliki, ada yang menjadi pedagang, ataupun pegawai pemerintahan. Bisa dikata regenerasi samurai mulai terhambat dan harakiri dalam sistem hukuman juga berkurang.

Akan tetapi, karena budaya harakiri telah melekat kuat pada kelas samurai, harakiri tetap dilakukan dan jumlah kematian pun semakin meningkat. Walaupun mereka tidak lagi bekerja sebagai samurai, semangat itu tetap selalu ada pada diri mereka dan juga pada sebagian masyarakat Jepang.

Hal ini dapat dilihat dengan tingginya tingkat bunuh diri yang terjadi di Jepang telah membuat negara berkembang yang memiliki tingkat bunuh diri paling tinggi. Hal ini disebabkan masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi harga diri, dan sebagai penebusan atas kegagalan dan sebagai wujud penyesalan yang dalam adalah bunuh diri. Walaupun dengan cara yang berbeda, tetapi tetap saja penghilangan nyawa masih dianggap sebagai jalan akhir yang dapat ditempuh.

Melihat keprihatinan ini pemerintah melakukan penelitian untuk mengetahui penyebab bunuh diri agar dapat dilakukan tindak pencegahannya. Namun sampai sekarang belum terdengar hasilnya.

Di saat pemerintah sibuk mengatasi tingkat bunuh diri, para seniman Jepang tetap melestarikan harakiri dalam sebuah pertunjukkan panggung sandiwara, sebagai salah satu budaya Jepang. Akan tetapi, bukan bertujuan untuk memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan harakiri, tapi untuk mempertunjukkan kepada masyarakat umum sebagai sebuah hiburan, para seniman mengemasnya sebagai sandiwara di atas panggung.

Teater musikal yang sangat terkenal adalah Kabuki. Kabuki yang diperuntukan bukan untuk kelas bangsawan ataupun samurai, tapi untuk masyarakat biasa ini, lebih membahas tentang tema-tema terlarang yang digambarkan dengan sangat detail. Kabuki yang sudah ada sejak tahun 1600-an inilah harakiri dimainkan dengan sangat detail.

Selain di panggung teater klasik, kisah harakiri dan samurai yang sangat erat hubungannya ini, telah banyak pula dibawa ke layar kaca. Seperti film “Harakiri” yang dibuat oleh Kobayashi Masaki pada tahun 1962 atau “Throne of Blod” oleh Akira Kurosawa tahun 1957 atau kisah “The Last Samurai”.

Itulah sebagian kisah yang terpercik dari buku ini. Sayangnya editor kurang jeli dalam melakukan tugasnya, sehingga masih banyak kata yang salah ketik, dan beberapa kata, berbeda penulisannya. Misalnya kata ‘harakiri’, dalam buku ini ada yang di cetak miring ada yang cetak tegak. Ada yang diawali huruf kapital, ada yang tidak. Sehingga agak susah untuk menangkap maksudnya.

Terlepas dari kelemahan tersebut di atas, buku ini tetap menarik untuk dibaca, karena membahas semua tentang harakiri yang sempat menggemparkan dunia dan membuat banyak orang tercengang. Begitu juga dengan nilai-nilai semangat yang telah menginspirasi para samurai. Selamat membaca. ***

http://antonsubiyanto.multiply.com/journal/item/4/resensi_HARAKIRI_Kepahlawanan_Samurai_Jepang

October 20, 2012 - Posted by | Pagaruyung Minangkabau

No comments yet.

Leave a comment